Saturday, April 8, 2017

[Random] Ancaman Kegiatan Wasting Time Berkedok 'Belajar Hal Baru'


Rasa penasaran itu seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, dia adalah senjata untuk memerangi hoax. Misalnya kamu punya rasa penasaran tinggi, kamu nggak akan mudah percaya dengan berita reremehan yang menghiasi timeline kamu. Kamu akan berusaha mencari sumber berita yang valid, dan menciptakannya sebagai informasi yang benar buat kamu pribadi. Namun apa jadinya kalau rasa penasaran itu menjadikanmu membuang-buang waktu untuk mengupas banyak hal atas nama 'belajar hal baru'?

"Kok buang-buang waktu, kan itu pengetahuan Jeng?"

Iya, rasa penasaran memang mampu membawa kita jadi tahu banyak hal. Tapiii, kalau kamu terus menuruti rasa penasaran untuk hal yang, tidak terlalu krusial untuk direlakan habis waktunya, kenapa musti dilakukan? Itulah hal yang jadi renungan saya selama beberapa waktu terakhir ini. Yang kemudian saya putuskan untuk menuliskannya di sini untuk bahan #postinganpertama2017. Tenang saja, postingan review dan biuti-biutinya bakal balik lagi kok.

2016, saya belajar hal-hal ini, dan insyaAllah akan saya terapkan di 2017.

Tidak perlu expert dalam segala hal. Sekedar tahu dan bisa, oke. Tapi tidak perlu semua harus dicapai secara mahir

Kadang kalau ketemu orang yang dianggap lebih sukses, lebih mumpuni, lebih terkenal, lebih banyak dolan, lebih (kelihatan) punya duit banyak, dan aneka lebih-lebih yang lain; secara nggak sadar kamu jadi muncul keinginan untuk mengikuti jejak dia. Contoh mudahnya, kamu ingin menekuni bidang yang dia geluti (padahal belum tentu kamu sudah kenal dengan bidang itu).

Ilustrasinya begini, kamu ketemu pemain harpa yang keren dan sudah melanglang buana dari panggung ke panggung, lalu kamu jadi ingin bisa bermain harpa. Segala hal kamu niatkan untuk diupayakan, misalnya kalau perlu les musik dan membeli harpa yang harganya puluhan juta pun dijabanin. Iya, kalau kamu basic-nya adalah seni musik, lha, kalau kamu anak teknik boga? Rasa-rasanya agak kurang masuk akal ketika memutuskan untuk belajar harpa di saat kamu sudah memulai karir sebagai artistan bakery, misalnya.

"Tapi kan menggapai mimpi nggak ada kata telat, Jeng"

Eit, tunggu dulu, dilihat dulu apakah kamu benar-benar bermimpi menjadi pemain harpa profesional? Apa sudah dipertimbangkan soal keberlangsungan bisnis artisan bakery-mu, atau sudah dipikirkan money-stream kamu sebagai pemain harpa? Lalu pikirkan juga effort waktu yang kamu korbankan untuk mencapai pemain harpa yang punya nilai jual. Kalau itu semua sudah dipikirkan dan hasilnya positif, silakan mengejar apapun impianmu.

Lebih memikirkan kembali konsep 'belajar hal baru'. Apakah sekiranya ilmu itu akan dipakai ke depannya, ataukah tidak

Di usia perempat abad, idealnya seseorang sudah punya pegangan tentang hal-hal apa saja yang akan difokuskan dalam karir ke depannya. Entah menjadi penulis, dosen, dokter, akuntan, bahkan ibu rumah tangga sekalipun. Rencana untuk pivot karir yang membutuhkan belajar dari nol (dan butuh waktu lama) tentu saja bukan hal yang direkomendasikan. Di usia segitu, biasanya seseorang telah selesai menuntaskan pendidikannya dan kemungkinan besar telah memulai karir pertamanya.

Katakanlah karirnya nggak sesuai dengan passion, dan kamu punya pilihan lain untuk menghabiskan sisa karirmu. Di situlah sebaiknya mulai dipikirkan bagaimana mengejar passion kamu,  apakah dengan pivot kerjaan, atau mulai belajar hal baru biar nggak keteteran nantinya. Tapii, ada banyak hal yang melenakan di balik 'belajar hal baru', yaitu kemungkinan adanya delusi untuk menjadi expert dalam waktu singkat, padahal kamu sebetulnya sudah mendekati expert di bidang yang kamu geluti sekarang.

Kamu adalah seorang manager di badan pemerintahan, lalu tau-tau kamu ingin jadi dokter dan memutuskan untuk kuliah kedokteran di usiamu yang, errr, 27 tahun? Fix, kamu bercanda!
Does it worth to pursue? Yes, you know the answer correctly

'Mahir' dan 'berwawasan' itu hal yang berbeda. Kamu bisa punya wawasan luas di banyak hal, tetapi untuk mahir, cukup 1-3 jenis saja

Saking penasarannya dengan bidang trading Forex, Sheila bela-belain membeli segunung buku tentang Forex, menghubungi pakar Forex, mencari aplikasi prediksi nilai saham, bahkan sampai melakukan investasi dengan nilai yang tinggi tanpa paham betul resiko. Semua dilakukan demi satu hal: menuntaskan rasa penasaran akan Forex. Sheila bermain grasa-grusu, alhasil, dia loss banyak dan gagal menjadi trader.

Bulan depan, Sheila ketemu dengan desainer pakaian. Dia bertanya-tanya soal bagaimana cara membuat pola, memintanya untuk mengajari menjahit dan memilih bahan. Lalu Sheila melakukan hal yang tak diduga: membuka tailor-nya sendiri dan membeli perlengkapan mesin jahit yang bagus. Karena persiapannya belum terlalu matang, (lagi-lagi) Sheila bangkrut dan bingung dengan masa depannya. Uang simpanannya habis untuk trading dan bikin usaha tailor.

Lalu Sheila mengeluhkan kenapa dia selalu gagal. Bahkan pertanyaan "kamu ingin jadi apa?" pun nggak bisa dijawab olehnya. Dia mengutuk kenapa orang lain bisa sukses dan bisa mencapai cita-citanya, sementara dia masih gitu-gitu saja.

Yang dilakukan Sheila bukan karena dia kurang usaha, bukan karena dia malas. Dia nggak malas, kok. Buktinya dia berani belajar dan berani membuka usaha. Tapi salahnya dia satu: gampang banget berubah pikiran dan pivot karir. Coba kalau Sheila memutuskan untuk terus menekuni trading. Gagal di awal adalah biasa, kalau diteruskan dan ditekuni dengan fokus, bukan nggak mungkin dia akan jadi trader profesional.

Belajar membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pengorbanan terbesar kita justru adalah waktu

Bayangkan apa yang dilakukan Sheila barusan, lalu komparasikan dengan investasi waktu yang telah ia lakukan. Untuk belajar Forex dia butuh waktu setidaknya enam bulan, lalu untuk membuka tailor juga sebutlah enam bulan. Satu tahun untuk belajar dan mencoba hal yang seharusnya bukan konsumsi dia. Pivot ide yang kurang direkomendasikan kan?

Adalah oke, kalau Sheila adalah seorang mahasiswa berusia 20 tahun yang masih banyak belajar dan bahkan belum tau mau jadi apa. Mencoba banyak hal baru merupakan hal yang masuk akal untuknya. Namun lain kisah ketika Sheila sudah menginjak usia perempat abad, daripada menyumbangkan banyak waktu yang sia-sia, lebih baik memulai dari hal yang sudah kamu bekali sebelumnya.

Don't build from the scratch! Time is running out
Orang-orang yang terbukti berhasil sukses di dunia ini adalah orang yang fokus. Sekali lagi, orang yang fokus

Kalau melihat orang-orang yang berhasil, kebanyakan keberhasilan mereka ada di satu atau dua bidang saja. Bisa kamu bayangkan: bagaimana kalau Raisa menjadi dokter? Bagaimana kalau Michael Jackson menjadi tukang tambal ban? Bahkan di otak pun gak kebayang kan? Belajar dari hal itu, kembali lagi ke konsep awal, orang fokus ditengarai lebih berhasil ketimbang mereka yang punya banyak keterampilan.

Jangan serakah. Fokus saja sudah

Plin-plan tidak akan membawamu ke tujuan utama

Terlena dengan rasa penasaran yang membuncah, lalu diikuti dengan 'belajar hal baru' yang justru membuang waktumu, punya potensi besar untuk membuatmu nggak fokus. Layaknya anak kecil, ketika diberi mainan baru maka dia akan lupa dengan mainan lamanya. Tapi kita bukan anak kecil lagi. Saya juga bukan akan kecil lagi. Teori mainan tidak sama dengan teori kehidupan manusia milenial yang dituntut produktif.

Inilah saat di mana saya mulai berpikir untuk kembali fokus, tidak memulai dari nol, memanfaatkan kemampuan yang sudah ada, nggak serakah, dan buang jauh-jauh keinginan untuk mencoba hal baru yang membutuhkan banyak effort.

Nb: kemarin malam saya mengubah banyak daftar impian-impian dan mengerucutkan menjadi tiga buah saja. Bagaimana denganmu?

+Andhika Lady Maharsi 



0 komentar:

Post a Comment